vanta7@gmail.com

Reportase 18th Postgraduate Forum on Health Systems and Policies 2024

{tab title=”HARI 1: ” class=”red” alitn=”justify”} 

Selasa, 6 Agustus 2024

PKMK-Kuala Lumpur. Sejumlah peneliti dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK), FK-KMK, Universitas Gadjah Mada mengikuti konferensi 18th Postgraduate Forum on Health Systems and Health Policies. Tahun ini Postgraduate Forum on Health Systems and Policies mengusung tema Evidence-Based Policy for Health Reform. Kegiatan berlangsung selama dua hari yaitu pada 6-7 Agustus 2024 diselenggarakan oleh Faculty of Medicine, Universiti Kebangsaan Malaysia. Konferensi ini juga merupakan kolaborasi 3 universitas yaitu Universiti Kebangsaan Malaysia, Prince of Songkla University di Thailand dan Universitas Gadjah Mada di Indonesia.

Pada hari pertama, kegiatan dimulai dengan Keynote Address oleh Prof. Emeritus Dato Dr. Syed Mohamed Al-Junid, menyatakan forum ini berfokus pada penggunaan bukti untuk mendukung transformasi kesehatan dan penerapannya dalam kebijakan berbasis bukti di masa depan. Adanya keterlibatan Malaysia, Indonesia, dan Thailand ikut berkontribusi dan memfasilitasi pembelajaran dalam rangka mengikuti perkembangan global.

Keynote Address: Evidence-Based Policy For Health Reform

Prof. Emeritus Dato Dr. Syed Mohamed Al-Junid menyampaikan bahwa reformasi sektor kesehatan melibatkan proses perubahan mendasar yang berkelanjutan dalam kebijakan kesehatan dan pengaturan institusi. Perubahan yang terarah ini bertujuan untuk mencapai efisiensi, keadilan, dan efektivitas dalam sektor kesehatan. Reformasi sektor kesehatan mencakup berbagai aspek, seperti penetapan kebijakan, penyempurnaan kebijakan yang ada, serta reformasi institusi yang menjalankan kebijakan tersebut, termasuk sistem, penyampaian layanan, pendanaan, dan institusi. Di sisi lain, reformasi perawatan kesehatan bersifat lebih luas dan melibatkan sektor sosial lainnya, bukan hanya sektor kesehatan itu sendiri.

Selain itu, kebijakan kesehatan berbasis bukti adalah kunci dalam mengarahkan reformasi kesehatan yang efektif. Aspek-aspek utamanya meliputi penggunaan sistematis dari penelitian, penilaian kritis, transparansi, pemantauan hasil, keterlibatan pemangku kepentingan, dan masalah data. Reformasi sistem kesehatan diperlukan untuk mengatasi masalah seperti akses kesehatan yang tidak memadai, kekurangan sumber daya, penggunaan sumber daya yang tidak efisien, dan layanan yang tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Namun, reformasi sering menghadapi berbagai hambatan, termasuk resistensi politik, kurangnya konsensus, serta tantangan dari para profesional kesehatan. Di akhir sesi, Prof. Emeritus Dato Dr. Syed Mohamed Al-Junid juga menyampaikan kolaborasi antara pembuat kebijakan, peneliti, penyedia layanan kesehatan, dan pemangku kepentingan lainnya sangat penting untuk keberhasilan implementasi reformasi berbasis bukti.

pgf1Plenary I

Topic: Evidence from Systematic Review and Network Meta-Analysis: Evidence-Based Healthcare and Practice
Speaker: Prof. Dr. Tippawan Liabsuetrakul (Prince of Songkla University, Thailand)

Setelah keynote address, forum dilanjutkan dengan sesi pleno pertama yang membahas tentang Evidence From Systematic Review and Network Meta-Analysis: Evidence-Based Healthcare and Practice oleh Prof. Dr. Tippawan Liabsuetrakul. Pada pleno pertama, Tippawan menjelaskan tentang systematic review atau tinjauan sistematis merupakan kunci utama untuk sintesis penelitian pada pertanyaan sistematis dengan strategi pencarian komprehensif. Sementara network meta-analysis (NMA) merupakan metode statistik yang dikombinasikan dengan temuan studi individu. Berdasarkan observasi Tippawan, publikasi artikel terkait NMA dari 2002 hingga 2018 mengalami peningkatan yang cukup signifikan setiap tahunnya. Namun, jumlah artikel NMA ini banyaknya dipublikasi dari negara maju atau institusi yang berada di negara maju. Kemudian, Tippawan juga menemukan bahwa ketersediaan artikel publikasi NMA dengan filter systematic review dari 1999 hingga 2024 terdapat 10.519 publikasi.

Tippawan juga memaparkan contoh dari penggunaan systematic review dan network meta-analysis pada penggunaan obat untuk penanganan preeclampsia. Kedua pendekatan dilakukan dengan menggunakan beberapa kata kunci seperti “prevention of preeclampsia,” “medications,” dan “meta-analysis” dengan menerapkan filter “systematic review”. Dari studi tersebut, Tippawan menyampaikan bahwa tidak ada satu evidence terkait pengobatan yang menjadi lebih unggul dari yang lain untuk penanganan preeclampsia. Bentuk pengobatan seperti antiplatelet, calcium dan antioxidants ditemukan lebih bermanfaat dari pada plasebo.

 

pgf2Plenary II

Topic: Post Covid Healthcare Reform in Indonesia
Speaker: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Msc, PhD (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menjadi narasumber kedua pada 18th Postgraduate Forum on Health System and Policies. Laksono membahas reformasi sistem kesehatan di Indonesia pasca COVID-19. Pihaknya menyoroti tiga poin penting: sejarah reformasi kesehatan, pelayanan kesehatan era pandemi, dan kemajuan serta tantangan setelah UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan berlaku. Reformasi politik tahun 1998 memperkuat undang-undang kesehatan, tetapi implementasinya belum optimal, terutama dalam hal sinergi antar undang-undang, reformasi SDM Kesehatan, layanan medis, dan layanan primer. Akibatnya, selama 20 tahun sebelum COVID-19, sistem kesehatan tidak efektif, efisien, dan adil, tercermin dari disparitas layanan, ketimpangan distribusi SDM kesehatan, dan ketimpangan klaim layanan BPJS Kesehatan.

Meskipun biaya klaim BPJS Kesehatan menurun selama pandemi, tantangan pembiayaan tetap ada. Segmen PBI selalu surplus, sementara segmen lain mengalami defisit, menunjukkan perbedaan akses layanan. Persentase belanja kesehatan dari GDP Indonesia masih rendah, dan peran pembiayaan swasta termarginalisasi. Pandemi COVID-19 memberikan tantangan besar, tetapi juga menjadi momentum bagi Kementerian Kesehatan untuk melakukan reformasi sistem kesehatan melalui Transformasi Kesehatan, yang diperkuat dengan UU Nomor 17 tahun 2023.

Undang-undang ini memperkuat posisi pemerintah dalam sinkronisasi dan koordinasi sektor lain terkait kesehatan. Tantangan ke depan meliputi penguatan layanan primer, perluasan layanan, peningkatan SDM Kesehatan, dan mengatasi tantangan pembiayaan. Kolaborasi dengan organisasi independen untuk memantau implementasi sistem kesehatan juga penting untuk memastikan keberhasilan reformasi kesehatan di Indonesia pasca pandemi.

Reporter: Agus Salim, MPH., Tri Muhartini, MPA., dan Candra, MPH

 

 

{tab title=”HARI 2″ class=”orange”}

Rabu, 7 Agustus 2024

Plenary III

Topic: Public-Private Partnership as a Sustainable National Health Model
Speaker: Brig. Jen. Dr. Mohd Arshil Moideen (UPNM)

pgf9

Brig. Jen. Dr. Mohd. Arshil memulai sesinya dengan refleksi atas situasi masa COVID-19, di mana sistem kesehatan di Malaysia mengalami kolaps dan rumah sakit kesulitan untuk mengelola situasi, SDM, alat kesehatan dan obat-obatan untuk menangani pasien COVID-19. Hal ini berakibat pada kebutuhan untuk meninjau ulang sistem kesehatan yang dimiliki Malaysia. Hal pertama yang beliau soroti adalah rendahnya belanja kesehatan publik terhadap Total Health Expenditure, dan salah satu penyebabnya adalah rendahnya proporsi penduduk Malaysia yang membayar pajak pendapatan. Oleh karena itu pemerintah Malaysia menerapkan government service tax, karena GST merupakan skema pajak yang ‘fair’ terhadap orang kaya (yang asumsinya tentu saja mengkonsumsi lebih banyak hal). Dari sisi service delivery, misalnya, jumlah RS swasta di Malaysia (sekitar 200 RS) lebih banyak dari RS pemerintah (sekitar 147 RS) walau pun dalam hal tempat tidur, RS pemerintah jauh lebih besar (hampir 2,5 kali lipat).

Public Private Partnership (PPP) menjadi salah satu alternatif yang perlu dipertimbangkan karena akan ada efisiensi sumber daya, sharing biaya, sharing risiko, inovasi dan potensi untuk menyediakan layanan sesuai continuum of care yang lebih komprehensif dan berkualitas. Sektor swasta juga memungkinkan akses ke CaPex . Referensi-referensi dari WHO, World Bank, ADB, the Global Fund dan The Lancet telah menerbitkan berbagai evidence mengenai potensi keberhasilan PPP.

Namun, tantangan terbesar bagi PPP adalah: political will. Perlu dipastikan adanya penerimaan publik terhadap PPP untuk dapat meningkatkan kemauan politik untuk menginisiasi PPP. Selain itu, tentu saja diperlukan upaya dari kebijakan-kebijakan ekonomi yang memungkinkan skema PPP, dan perhitungan investasi yang kompleks untuk menunjukkan viabilitas dari sisi ekonomi. Tentu saja kerangka regulasi perlu diupayakan.

Pembicara menjelaskan bagaimana RS di sektor militer dai Malaysia juga telah ada yg dibangun dengan mekanisme private finance initiative (PFI). Arshil menyarankan untuk menginisiasi PPP dalam skala kecil (misalnya di primary care) sebelum beranjak ke skala yang lebih besar (misalnya RS), karena dengan mencoba PPP dalam skala kecil maka kompleksitas dan tantangan yang dihadapi akan lebih kecil skalanya dan lebih memungkinkan untuk ‘berlatih’ menanganinya baik dari sisi komitmen politik, mekanisme service delivery, penerimaan masyarakat, maupun kemampuan ekonomi dan pembiayaannya.

 

Plenary IV

Topic: Health Financing reforms- includes Strategic Purchasing
Speaker: Prof. Dr. Supasit Pannarunothai (Centre for Health Equity Monitoring Foundation, Thailand)

pgf8

Reformasi pelayanan kesehatan adalah proses yang berkelanjutan dan memiliki banyak aspek yang melibatkan penerapan perubahan kebijakan untuk meningkatkan pemberian layanan kepada pasien, dari yang semula hanya mempertimbangkan aspek efektivitas dan efisiensi (A.L Cochrane, 1972), kemudian mempertimbangkan juga equity (DHSS, 1976). Selanjutnya, dari sisi manajerial, terdapat istilah managed competition dan internal market (AC Enthoven, 1985) untuk meningkatkan kualitas layanan. Selain itu, purchaser- provider split (PPS model) bertujuan untuk menyediakan layanan dalam perawatan kesehatan dimana pembayar pihak ketiga secara organisasi terpisah dari penyedia layanan. Ada pula monopsonistic power yang bertujuan untuk memengaruhi harga dan upah yang menguntungkan.

Supasit menjelaskan bahwa selama lebih dari 2 dekade sebelum adanya Universal Health Coverage (UHC) di Thailand, negara tersebut menghabiskan sekitar 6% dari Produk Domestik Bruto (GDP) untuk biaya kesehatan. UHC dari konteks Thailand digambarkan sebagai berikut pendanaan dari sektor pemerintah yang lebih besar dari swasta, mengandalkan pajak pendapatan/pengeluaran, penggunaan PPS model dan monopsonistic power. Tercapainya UHC ini dibuktikan salah satunya dengan kondisi ketahanan Puskesmas di Thailand yang sudah berjalan baik terutama saat terjadi pandemi COVID-19, termasuk di area pedesaan, justru di Bangkok dan kota besar lain, sistemnya hampir kolaps salah satunya akibat tingginya populasi. Dalam menciptakan reformasi pelayanan kesehatan diperlukan kemauan dan kekuatan dari segi politik agar perbaikan yang dirancang dapat dijalankan secara sah dan sistematis di suatu negara.

Reporter: Ester (PKMK UGM)

 

Panel Discussion

Topic: Healthcare Reform: Are We Really Serious?
Moderator: Assoc. Prof. Dato’ Dr Mohd Husni Jamal

Speaker:

  1. Professor Emeritus Dr. Syed Mohamed Aljunid (Malaysia)
  2. Prof. Dr. dr. Supasit Pannarunothai (Thailand)
  3. dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes, PhD (Indonesia)

pgf7

Diskusi panel, sebagai sesi terakhir dari materi di PGF ke-18, mengangkat topik “Healthcare Reform: Are We Really Serious?”. Diskusi panel ini dimoderatori oleh Assoc. Prof. Dato’ Dr Mohd Husni Jamal dan diisi oleh Professor Emeritus Dr. Syed Mohamed Aljunid dari Malaysia, dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes, PhD dari Indonesia, dan Prof. Dr. dr. Supasit Pannarunothai dari Thailand.

Diskusi dimulai dengan pertanyaan seberapa serius kita di dalam reformasi pelayanan kesehatan. Husni, selaku moderator, mengajukan pertanyaan kepada setiap narasumber. Tanggapan dimulai dari Aljunid dengan menampilkan beberapa paparan. Paparan berdasarkan The Health White Paper yang mengungkapkan 4 pilar terkait reformasi pelayanan kesehatan. Kemudian,Lutfan menanggapi bahwa reformasi ini sangat penting untuk dilakukan. Keseriusan ini ditampilkan dalam bentuk usaha yang sudah dilakukan terkait efektivitas dan efisiensi dari Kementerian Kesehatan. Hal ini terkait transformasi kesehatan, baik dari pelayanan, sumber daya, dan teknologi. Keseriusan tidak hanya dilakukan dari sisi kementerian, tetapi kolaborasi, seperti dengan akademisi. Terakhir, Supasit ikut menanggapi pertanyaan yang telah diajukan. Reformasi di Thailand saat ini bukanlah hal yang mendapat perhatian besar, tetapi beberapa hal sudah dilakukan, terutama terkait pembiayaan.

Husni bertanya kepada Aljunid, dari keempat pilar yang sudah disebutkan sebelumnya, pilar manakah yang menjadi prioritas. Aljunid menjawab bahwa hal tersebut sangat sulit untuk dijawab. Akan tetapi, berbicara tentang yang mudah dan mungkin untuk dicapai, dari keempat pilar itu adalah pilar 1. Ada sektor dari pilar 1 yang sulit untuk dilakukan, yaitu terkait public private partnership. Selain itu, pilar 1 juga membutuhkan pilar 3. Sedangkan, pilar 3 dan pilar 4 ini termasuk sangat sulit untuk dicapai. Political will adalah isu yang nyata untuk dapat menjadikan reformasi pelayanan kesehatan ini tercapai.

Husni menanyakan kepada Lutfan terkait apakah setuju dengan pernyataan bahwa antara public health dan primary care harus berjalan seimbang dan bagaimana hal tersebut dilakukan. Lutfan menanggapi bahwa hal tersebut tepat dinyatakan, terutama menyangkut 6 pilar yang terdapat di transformasi kesehatan. Teknologi saat ini dibutuhkan untuk meningkatkan primary care juga. Saat ini, sedang dilakukan penggunaan Rekam Medis Elektronik (RME). Husni kembali merespon bahwa terdapat banyak pembelajaran yang kita dapatkan dari era pandemi, termasuk peningkatan pelayanan primer.

Husni melanjutkan pertanyaan kepada Supasit mengenai efektivitas dokter kesehatan masyarakat di sistem kesehatan Thailand. Supasit menyatakan bahwa memang kurang memuaskan. Supasit cukup kritis terhadap mendukung penelitian terkait pelayanan primer di Thailand. Supasit belajar dari pandemi bahwa pelayanan primer perlu ditingkatkan dengan teknologi kesehatan juga. Apabila kita dapat menyeimbangkan pelayanan primer dengan literasi digital, dokter keluarga akan menjadi agen terbaik.

Husni kembali kepada Aljunid terkait seberapa serius menyampaikan kebutuhan reformasi kesehatan ini kepada pemerintah. Aljunid menyatakan bahwa masa ini adalah masa yang krusial bagi malaysia karena akan terjadi perubahan menteri. Kita perlu mendorong pemerintah untuk memulai drafting health financing act, sehingga kita dapat memperoleh komitmen yang jelas untuk reformasi kesehatan ini.

Husni menanyakan kepada Lutfan dan Supasit terkait seberapa jauh Kementerian Kesehatan berkecimpung dalam reformasi kesehatan. Lutfan menyampaikan bahwa implementasi sudah dilakukan berdasarkan data. Implementasi ini sudah dilakukan cukup baik oleh pihak-pihak di lapangan yang lebih dekat dengan situasi nyata. Supasit menambahkan terkait keuntungan kesehatan dan pembangunan single system yang perlu diperhatikan.

Diskusi panel diserahkan kepada peserta untuk ikut bertanya. Pertanyaan pertama disampaikan oleh Haryo dari Universitas Gadjah Mada. Haryo menyampaikan bahwa membandingkan sistem kesehatan di Malaysia dan Indonesia, Kementerian Kesehatan di Indonesia saat ini mengendalikan banyak hal yang sebelumnya bukan milik Kementerian Kesehatan, sehingga apa yang dapat kita pelajari dari sistem kesehatan di Malaysia? Aljunid menyebutkan bahwa ahli itu diperlukan untuk kebutuhan pekerjaan yang saat ini tampak banyak dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Selain kebutuhan ahli, diperlukan juga reorganisasi untuk melihat aspek-aspek apa yang dibutuhkan untuk mendukung pekerjaan di Kementerian Kesehatan. Pertanyaan kedua dari Tri menyampaikan terkait penelitian yang dilakukan universitas dan kebijakan yang dibuat oleh kementerian kesehatan. Aljunid menyebutkan bahwa di universitas kita mendorong untuk membuat publikasi. Apapun penelitian yang dilakukan dan dapat diakses oleh publik, Kementerian Kesehatan akan mencoba mempelajari hal tersebut. Terdapat juga conflict of interest. Pertanyaan ketiga, sebagai penutup diskusi panel hari ini, disampaikan oleh Prof. Tippawan. Sebagai akademisi, skenario apa yang dapat diusulkan terkait kebijakan kesehatan dan politik yang ada. Supasit menanggapi bahwa ini memang cukup sensitif melihat adanya menteri kesehatan yang baru. Lutfan sebagai akademisi ini bekerja sebagai independent. Tidak begitu mempertimbangkan apakah hasil ini nanti akan digunakan oleh kementerian kesehatan atau tidak. Akan tetapi, sangat mengharapkan bahwa kementerian kesehatan juga dapat mempertimbangkan proses implementasi apabila hasil yang diperoleh akademisi ini baik untuk diterapkan. Aljunid menyebutkan bahwa akademisi juga akan terbagi menjadi 2 kelompok. Akademisi ini memang independent dan kita perlu menentukan dengan jelas apa kepentingan kita. Jangan lupa bahwa kita juga perlu menjaga kesehatan masyarakat kita juga.

Reporter: Shita Dewi, Ester dan Sensa Gudya Sauma Syahra (PKMK UGM)

 

{/tabs}

 

 

Reportase Diskusi tentang Struktur PP No.28/2024 sebagai Peraturan Pelaksana UU No.17/2023 dan Penggunaan Sistem Digital

{tab title=”SERI #1″ class=”red” align=”justify”}

Sabtu, 3 Agustus 2024

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Webinar Diskusi 1: Tentang Struktur PP Nomor 28 Tahun 2024 sebagai Peraturan Pelaksana UU Nomor 17 tahun 2023 pada Sabtu (3/8/2024). Kegiatan ini dimoderatori oleh Nila Munana, SHG., MHPM. Narasumber utama adalah Tri Muhartini, S.IP, MPA. Kegiatan ini dibuka oleh Shita Listya Dewi, S.IP, MM, MPP.

Pada pembukaan webinar diskusi 1 ini, Shita menyampaikan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 disusun dengan metode Omnibus Law, yang memungkinkan penggabungan berbagai peraturan dalam satu payung hukum. UU ini tidak hanya merevisi UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tetapi juga sejumlah undang-undang lainnya seperti UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Setelah penantian panjang, pada 26 Juli 2024, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 sebagai turunan dari UU ini. PP tersebut mencakup 1072 pasal yang meliputi berbagai aspek kesehatan, mulai dari pelayanan kesehatan hingga ketahanan kefarmasian. Pengesahan ini berdampak besar karena membuat 26 PP dan 5 Perpres lainnya menjadi tidak berlaku.

PP ini juga menyoroti layanan kesehatan di daerah terpencil dan mengusung inovasi seperti telemedicine. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM telah mengembangkan platform digital untuk mempermudah akses dan pemahaman terhadap PP ini. Dengan harapan dapat memfasilitasi dan meningkatkan partisipasi akademisi dan praktisi dalam pengembangan kebijakan kesehatan di Indonesia.

Selanjutnya Tri membahas bahwa platform digital yang disediakan oleh PKMK UGM untuk mempermudah akses dan pemahaman terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang dipaparkan secara rinci. Platform ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan akademisi, peneliti, dan pemangku kepentingan dalam mengakses informasi yang terkait dengan kebijakan kesehatan secara terstruktur.

PKMK UGM menyediakan laman website khusus kebijakankesehatan.net yang memudahkan pengguna untuk menavigasi dan mengunduh dokumen PP sesuai dengan bidang atau fokus kajian mereka. Dengan adanya fitur seperti strukturisasi paragraf dan pengklasifikasian bab, pengguna dapat dengan mudah menemukan dan menganalisis bagian spesifik dari PP ini tanpa harus membuka keseluruhan dokumen yang tebal. Dengan lebih dari 1000 pasal yang tersusun dalam 13 bab, Platform digital ini membantu pengguna mengakses informasi secara efisien. PKMK UGM berharap sistem ini dapat terus berkembang dan memberikan manfaat bagi para akademisi dan praktisi dalam mendukung transformasi kebijakan kesehatan di Indonesia.

Dari hasil diskusi dengan para peserta yang hadir, menghasilkan beberapa rekomendasi perbaikan dan penambahan fitur pada halaman website PP untuk ke depannya. Beberapa fitur dan masukan untuk perbaikan yaitu penambahan search bar untuk memudahkan pencarian, penyelesaian upload per bagian dengan paragraf yang sesuai, perbaikan website agar tidak error atau lemot, dan narasi tambahan di tiap bagian PP untuk analisis dan komparasi dengan PP sebelumnya. Semua rekomendasi ini tentu menjadi masukan yang baik untuk pengembangan website PP ke depannya.

Reporter: Via Anggraini, S.K.M

 

{tab title=”SERI #2″ class=”orange”}

10 Agustus 2024

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan Webinar Diskusi tentang Struktur Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 sebagai Peraturan Pelaksana UU Nomor 17 Tahun 2023 & Penggunaan Sistem Digital pada Website Kebijakan Kesehatan Indonesia pada Sabtu (10/8/2024) secara daring. Kegiatan diikuti 160 peserta Zoom meeting dan 148 peserta melalui streaming.

Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD mengawali webinar dengan memberikan gambaran umum tentang Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan sebagai landasan hukum bagi perubahan mendasar dalam sektor kesehatan. Laksono menekankan bahwa reformasi kesehatan yang efektif memerlukan pengaturan yang terintegrasi dari berbagai kebijakan kesehatan. Sebelum pandemi COVID-19, belum pernah ada upaya komprehensif untuk mereformasi sistem kesehatan secara menyeluruh. Namun, pandemi telah mendorong Kementerian Kesehatan untuk mempercepat proses reformasi dengan mengimplementasikan sejumlah kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 ini dianggap sebagai tonggak sejarah dalam reformasi kesehatan Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang ini, Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk melakukan perubahan mendasar pada Sistem Kesehatan Nasional. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat dengan Omnibus Law. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan yang mempunyai lebih dari 1100 Pasal. Selanjutnya, bagaimana struktur Peraturan Pemerintah di bidang Kesehatan dan bagaimana cara mempelajari Peraturan Pemerintah di bidang Kesehatan?

Pembicara: Tri Muhartini, S.IP, MPA

20ags1Tri Muhartini memaparkan struktur Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 sebagai Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023, yang mana peraturan pemerintah ini terstruktur yang memiliki 76 bagian yang merupakan turunan dari 13 bab dan 656 halaman. Selain itu, Tri menyampaikan struktur tersebut dapat diakses melalui sistem digital yaitu laman website Kebijakan Kesehatan Nasional sudah mengembangkan fitur search sebagai upaya untuk memahami Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dengan menggunakan kata kunci. Tri Muhartini menyampaikan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 ini berperan penting dalam mendukung transformasi sistem kesehatan.

Pembahas 1 : Dr. Rimawati, S.H., M.Hum.

20ags2Rimawati menyampaikan omnibus law sangat berkaitan dengan upaya penyederhanaan regulasi dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan. Penggunaan metode omnibus law sebagai upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan mampu menekan ego sektoral yang terkadang menimbulkan pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Beliau juga menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah yang dibentuk secara mandiri oleh Pemerintah dalam bentuk peraturan yang didelegasikan untuk menjalankan Undang-Undang dalam hal ini lembaga negara yang berhak menetapkan Peraturan Pemerintah adalah lembaga eksekutif, secara spesifik ditetapkan oleh Presiden.

Rimawati juga menyampaikan identifikasi paket aturan pelaksana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang mana secara struktur terdiri dari XIII Bab dan 1702 Pasal. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 ini juga memberikan kewenangan kepada Kementerian untuk membuat aturan lebih lanjut terkait dengan 409 pasal yang ada di dalamnya.

Pembahas 2: Sundoyo, SH., MKM, M.Hum.

Sundoyo menyoroti sejumlah tantangan yang masih dihadapi dalam pelayanan kesehatan di lapangan mulai dari pelayanan primer, pelayanan rujukan, ketersediaan farmasi, krisis kesehatan, pembiayaan kesehatan, SDM kesehatan dan teknologi dan informasi kesehatan. Kementerian Kesehatan saat ini memang sedang melakukan transformasi kesehatan, yang menjadi persoalan ketika Transformasi Kesehatan ini dijalankan banyak kendala yang terjadi, salah satu kendala yang paling signifikan terkait dengan dukungan regulasi.

Hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 ini sebagai langkah dalam Upaya Transformasi Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 ini mencabut 26 Peraturan Pemerintah lainnya terkait dengan kesehatan untuk mengurangi tumpang tindih peraturan.
Reporter: Priandita Koswara dan Miche Leo Fullgita

Sesi Diskusi

Sesi diskusi pada webinar ini berfokus pada kemungkinan adanya pertentangan antara aturan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dengan undang-undang yang sudah ada atau yang akan dibuat di masa depan. Peserta memiliki kekhawatiran adanya isu kesehatan yang belum tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Rimawati menjelaskan bahwa jika belum ada aturan hukum yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum, maka untuk mengisi kekosongan hukum akan dilakukan amandemen atau perubahan aturan tersebut.

Menurut sundoyo, Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Hukum dan HAM sudah mengupayakan subtansi yang mendelekasikan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2024 sudah mencakup semua aspek di bidang kesehatan. Peserta juga memberikan masukan untuk dibuatkan topik pembahasan khusus dengan melibatkan berbagai stakeholder dan masyarakat terkait penanganan wabah.

 

{tab title=”SERI #3″ class=”green”}

16 Agustus 2024

Diskusi Kepemimpinan dalam Sistem Kesehatan dan Cara Memahami UU Kesehatan Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024 melalui Platform Digital

20ags3

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan Webinar Diskusi Kepemimpinan dalam Sistem Kesehatan dan cara memahami UU Kesehatan Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024 melalui Platform Digital yang ketiga pada Kamis (16/8/2024). Narasumber pada webinar ini adalah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD (Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM) dan Dr. Rimawati, S.H, M. Hum (Fakultas Hukum UGM). Sementara moderator kali ini ialah dr Haryo Bismantara, MPH dari FK-KMK UGM Kegiatan ini diselenggarakan secara daring dengan 160 peserta Zoom dan 67 peserta streaming Youtube.

Pengantar: Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD

Laksono mengawali webinar dengan memberikan gambaran umum tentang Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan sebagai landasan hukum bagi perubahan mendasar dalam sektor kesehatan. Pihaknya menekankan bahwa reformasi kesehatan yang efektif memerlukan pengaturan yang terintegrasi dari berbagai kebijakan kesehatan. Sebelum pandemi COVID-19, belum pernah ada upaya komprehensif untuk mereformasi sistem kesehatan secara menyeluruh. Namun, pandemi telah mendorong Kementerian Kesehatan untuk mempercepat proses reformasi dengan mengimplementasikan sejumlah kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 ini dianggap sebagai tonggak sejarah dalam reformasi kesehatan Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang ini, Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk melakukan perubahan mendasar pada Sistem Kesehatan Nasional. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat dengan Omnibus Law. Laksono menekankan bagaimana pemimpin menggunakan platform digital untuk mempelajari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024.

Pembahas : Dr. Rimawati, S.H., M.Hum.

Rimawati menyampaikan omnibus law sangat berkaitan dengan upaya penyederhanaan regulasi dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan. Penggunaan metode omnibus law sebagai upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan mampu menekan ego sektoral yang terkadang menimbulkan pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Beliau juga menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah yang dibentuk secara mandiri oleh Pemerintah dalam bentuk peraturan yang didelegasikan untuk menjalankan Undang-Undang dalam hal ini lembaga negara yang berhak menetapkan Peraturan Pemerintah adalah lembaga Eksekutif, secara spesifik ditetapkan oleh Presiden.

Rima juga menyampaikan terkait dengan struktur Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang mana secara struktur terdiri dari XIII Bab dan 1172 Pasal. Selain itu, pihaknya juga menjelaskan terkait dengan Implikasi Peraturan Pemerintah 28 Tahun 2024 yang mana mencabut 26 Peraturan Pemerintah dan 5 Peraturan Presiden. Rima menekankan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 mendelegasikan 4 Peraturan Presiden dan 1 Keputusan Presiden yang harus segera disusun. Selain itu perlu dilakukan analisis dengan Peraturan Menteri existing yang masih dinyatakan berlaku dan tidak bertentangan.

Reporter: Priandita Koswara dan Miche Leo Fullgita

 

{/tabs}